Minggu, 26 Februari 2012

Pati Resisten sebagai Sumber Alternatif Pengganti Serat Pangan


Pati Resisten
Pati resistan merupakan istilah yang digunakan dalam ilmu gizi dan ilmu pangan sebagai jenis pati yang tidak tercerna (resistan) dalam saluran sistem pencernaan manusia. Pati resistan memiliki sifat fisiologis yang unik sehingga sering direkomendasikan penggunaannya dibandingkan dengan serat yang lainnya. Pati resistan dapat digunakan untuk meningkatkan serat pangan dengan sedikit perubahan dari penampakan dan sifat organoleptik pangan.
Makanan berbasis pati diklasifikasikan berdasarkan sifatnya ketika diinkubasikan dengan enzim menjadi pati glisemik dan pati resisten. Pati glisemik adalah pati yang telah didegradasi menjadi glukosa oleh enzim pencernaan dan selanjutnya dikategorikan menjadi dua yaitu, rapidly digestible starch (RCS) dan slowly digestible starch (SDS). Perbedaan keduanya adalah,  pada kecepatan penyerapan rapidly digestible starch (RCS) dicerna dengan cepat pada usus halus dan berdasarkan uji in vitro, pati jenis ini dihidrolisa menjadi glukosa dalam waktu 20 menit. Pati yang terserap cepat ini biasanya banyak terdapat pada pati yag sudah dimasak, dalam hal ini granula pati telah tergelatinisasi sehingga lebih memudahkan enzim pencernaan untuk menghidrolisis. Sedangkan slowly digestible starch (SDS) degrasi lebih lambat, dari uji in vitro membutuhkan waktu antara 20-110 menit untuk mengubah pati untuk menjadi glukosa. Sedangkan pati resisten adalah pati yang tidak tercerna dalam usus halus tapi terfermentasi pada usus besar oleh mikroflora (Bridgewater, 1998).
Pati resisten adalah senyawa yang unik, karena walaupun termasuk dalam kategori pati, namun dianalisa sebagai serat pangan. Serat pangan yang selama ini dikenal akan efek fisiologisnya tidak mampu menarik konsumen untuk menkonsumsinya, hal ini dibuktikan dengan rendahnya konsumsi serat pangan di Amerika, di mana jumlah yang direkomendasikan sekitar 20-35 g/hari, nammun jumlah serat pangan yang dikonsumsi hanya berkisar antara 12-17 g/hari (Alaimo et.al, 1994). Hal ini disebabkan oleh daya terima konsumen terhadap kualitas organoleptik serat pangan rendah (teksturnya yang kasar dan dry mouthfeel), walaupun serat pangan diklaim mempunyai efek yang baik bagi kesehatan dengan menghambat pertumbuhan sel-sel kanker (Craig et al., 1998).
Pati resisten terdapat dalam berbagai bentuk dan berbagai tingkatan stabilitas. Pati teretrogradasi adalah yang paling stabil terhadap panas. Pati teretrogradasi, khususnya amilosa adalah jenis pati resisten yang paling stabil (Haralampu, 2000). Hal ini berhubungan denga rantai amilosa yang lurus yang mudah teretrogradasi dan ketika rantai amilosa bergabung kembali (retrogradasi), akan membentuk sebuah polimer yag kompak dan sulit untuk dihidrolisis oleh enzim pencernaan (Colonna, 1992).

Klasifikasi Pati Resisten
Pati diklasifikasikan berdasarkan faktor intrinsik dari jenis pati dan faktor perlakuan menjadi 4 macam, yaitu:
1.    Tipe 1 adalah bahan berpati yang secara fisik sulit dicerna (pati yang terkunci oleh dinding sel, ukuran partikel yang besar seperti hasil penggilingan yang tidakk sempurna). Pati resisten tipe 1 mempunyai ikatan molekul yang kuat dan terperangkap dalam jaringan, yang membuat enzim-enzim pencernaan tidak dapat masuk ke molekul pati (Haralampu, 2000).
2.    Tipe 2, terdapat secara alami pada pati yang tidak tergelatinisasi karena tidak dimasak, misalnya pati kentang, pisang dan bahan tinggi amilosa lainnya. Pati resisten tipe 2 mempunyai ujung glukosa struktur pati. Karena terperangkap kuat, pati tahan terhadap hidrolisis enzim amylase, namun ketika pemasakan dapat hilang akibat lepasnya barier seluler dan kerusakan granula pati (Sculz, 1993).
3.    Tipe 3, adalah molekul pati yang terbentuk selama pemanasan lalu pendinginan pati. Terjadinya retrogradasi pati yang menghasilkan makrokristal yang membuat pati tahan terhadap panas dan enzim. Struktur pati resisten tipe 3 sangat stabil terhadap panas dan enzim. Struktur pati resisten tipe 3 sangat stabil terhadap suhu dan hanya bisa dipecah pada suhu 85-150°. Asp and Bjork (1992) menyatakan makin tinggi kadar amilosa pati maka makin tinggi pula kadar resistensinya. Granula pati yang kaya amilosa mempunyai kemampuan mengkristal yang lebih besar, yang disebabkan oleh lebih intensifnya ikatan hidrogen, akibatnya tidak dapat mengembang atau mengalami gelatinisasi sempurna pada waktu pemasakan sehingga tercerna lebih lambat. Pati teretrogradasi adalah pati yang paling resisten terhadap hidrolisis enzim pencernaan.
4.    Tipe 4, merupakan pati hasil modifikasi secara kimia atau pati hasil repolimerasi seperti halnya terbentuknya ikatan silang  pada rantai polimer (Croghan, 2001).

Tiap jenis pati resisten memberikan efek fisiologis yang berbeda. Perbedaan efek fisiologis juga ditemukan pada sumber makanan dari jenis pati resisten, seperti kecepatan daya cerna yang berbeda dari pati resisten tipe 2 dengan sumber jagung, kacang merah dan kentang. Tidak ditemukan alasan yang jelas kenapa tiap jenis sumber pati resisten memiliki perbedaan efek fisiologis (Haralampu, 2000).

Tabel Contoh Klasifikasi Pati Resisten
Jenis pati resisten
Contoh
Kemungkinan pencernaan di usus halus
RS1: tidak dapat terlihat secara fisik
Biji-bijian yang digiling secara parsial
Resistan
RS2: granula resisten
Kentang mentah, pisang yang masih hijau, beberapa serealia, dan pati jagung yang tinggi amilosa
Resistan
RS3: pati teretrogradasi
Kentang yang sudah dimasak dan didinginkan, roti-rotian, dan cornflake
Resistan
RS4: pati yang dimodifikasi secara kimia
Pati eter, ester, dan ikatan silang
Resistan

Pati resisten dalam bahan makanan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1.    Pengaruh proses pengolahan, dalam hal ini dapat menyebabkan proses gelatinisasi yang meningkatkan kelarutan dan kecernaan pati sehingga akan dapat menurunkan kandungan pati resisten dalam bahan tersebut. Pemanasan kembali dan pendingina akan dapat menyebabkan terbentuknya pati teretrogradasi yang bersifat tidak larut.
2.    Pengaruh ukuran partikel, ukuran partikel dari granula pati juga dapat mempengaruhi keberadaan pati resisten. Semakin kecil ukuran partikel maka semakin besar rasio luas permukaan dan volume granulanya. Akibatnya, enzim akan mudah menghidrolisis pati.
3.    Pengaruh adanya senyawa lain, senyawa lain yang terdapat dalam granula pati dapat mempengaruhi  keberadaan pati dalam bahan pangan. Senyawa tersebut dapat berupa lemak, protein dan serat pangan. Serat pangan juga dapat mempengaruhi kecernaan pati, yaitu akan menghambat penetrasi enzim amilase dengan pati.

Tabel  Karakterisitik Pati Resisten
Jenis pati resistan
Keterangan
Kemungkinan pencernaan di usus halus
Faktor penurun resistansi
Sumber pangan
RS1
Tidak dapat terakses oleh sistem pencernaan karena terperangkap pada matrik yang tidak tercerna
Lambat dengan derajat sebagian; Dapat tercerna secara sempurna bila pangan digiling secara sempurna
Penggilingan, pengunyahan
Biji-bijian yang tergiling secara sempurna, kacang-kacangan, pasta
RS2
Granula resistan yang tidak tergelatinisasi dengan kristalinitas tipe B, terhidrolisis secara lambat oleh α-amilase
Sangat lambat dengan derajat sedikit; Dapat tercerna sempurna ketika dimasak secara penuh
Proses pengolahan dan pemasakan
Kentang mentah, pisang yang masih hijau, beberapa jenis kacang-kacangan, pati yang tinggi amilosa
RS3
Pati teretrogradasi terbentuk ketika pangan yang mengandung pati dimasak dan kemudian didinginkan
Lambat dengan derajat sebagian; Daya cernanya dapat ditingkatkan dengan pemanasan ulang
Kondisi pada saat pemrosesan
Kentang yang dimasak kemudia didinginkan, roti-rotian, corn flakes, produk pangan dengan perlakukan pemanasan ulang
RS4
Pati yang secara khusus termodifikasi secara kimia dan diproses dalam skala industri untuk dijadikan sebagai komponen ingredien pangan
Hasil dari modifikasi secara kimia, resisten terhadap hidrolisis
Sangat sedikit terpengaruh ketercernaannya
Beberapa serat: minuman, pangan yang menggunakan ingredien pati yang sudah termodifikasi (produk roti-rotian tertentu)

Untuk dapat mengetahui jumlah pati resisten yang terdapat dalam bahan-bahan pangan dapat kita lihat pada tabel II.3 di bawah ini.

Tabel Jumlah Pati Resisten dalam Bahan Pangan
Jenis pangan
Persen
berat kering
Pati resistan
(g/100 g)
berat kering
Roti tawar
54,5
1
Wholemeal bread
52,0
1
Cornflake
95,8
3
Oats dalam bentuk puree
90,7
2
Kentang rebus (panas)
22,8
5
Kentang rebus (dingin)
23,8
10
Spagetti (panas)
28,3
5
Spagetti (dingin)
34,7
4
Kacang polong (dingin, kemudian dipanaskan 5 menit)
18,3
5
Kacang lentil (dipanaskan 20 menit, kemudian didinginkan)
28,3
9
Kacang Haricot (dipanaskan selama 40 menit)
41,4
18
II.3 Manfaat Pati Resisten
Pati resisten memiliki karakteristik yang hampir sama dengan serat pangan, yaitu sifatnya yang tahan terhadap hidrolisis enzim pencernaan dan tidak dapat tercerna dalam usus halus tapi terfermentasi dalam kolon membuatanya diklasifikasikan ke dalam serat pangan (Nugent, 2005). Menurut Baghurst et al.(1996) beberapa penelitian telah melaporkan bahwa pati resisten menghasilkan  asam lemak rantai pendek seperti asam asetat, asam propionat dan asam butirat yang lebih banyak jika dibandingkan dengan serat pangan, sehingga efektivitas penghambatan terhadap poliferase sel kanker lebih tinggi karena menurunkan pH kolon menjadi lebih rendah. Oleh karena pati resisten tidak dapat dicerna, efek fisiologis lainnya selain menghasilkan asam lemak rantai pendek, pati resisten juga mampu menurunkan waktu transit digesta dalam kolon dan meningkatkan massa feces (Gordon, 1997).
Menurut Brown (1996), sifat pati resisten yang tidak tercerna dalam usus halus dapat dimanfaatkan sebagai substrat untuk pertumbuhan probiotik. Mikroorganisme probiotik yang memanfaatkan pati resisten sebagai substratnya adalah Bifidobacterium. Selain itu, mengkonsumsi makanan yang mengandung pati resisten dapat mengontrol kenaikan gula darah akibat pelepasan glukosanya yang lambat sehingga dapat menurunkan respon insulin tubuh dan menormalkan kembali gula darahnya.
Metabolisme pati resisten membutuhkan waktu sekitar 5-7 hari, waktu yang lama ini dapat menurunkan respon insulin sehingga dapat menurunkan kecepatan gula darah yang mengakibatkan kebutuhan energi turun dan menunda rasa lapar (Raben, 1994).Cassidy et al. (1994) menyatakan bahwa peningkatan butirat dari pati resisten menandakan rendahnya kanker kolon. Dari penelitian diperoleh hubungan terbalik antara kanker kolon denga asupan pati. Sekarang ini, pati resisten diimplikasikan sebagai prebiotik. Prebiotik sebagai bahan makanan yang tidak dapat tercerna dan memberi efek menguntungkan dengan mendorong pertumbuhan dan aktivitas dari satu atau sejumlah koloni bakteri yang dapat meningkatkan kesehatan kolon.
Karena sifatnya yang tahan terhadap enzim mamalia, RS dapat diklasifikasikan sebagai komponen serat berdasar definisi serat pangan yang diberikan oleh the American Association of Ceral Chemists (2000) dan the National Academic of Science (2002). Meskipun bukan komponen dinding sel tanaman tetapi kandungan gizi yang dimiliki RS mirip polisakarida bukan pati (non starch polysaccharide) dibandingkan dengan pati tercerna, sehingga efek fisiologisnya mirip serat.
Seperti halnya serat pangan, RS dapat meningkatkan status kesehatan GIT (gastrointestinal tract) karena mempunyai sifat meruah (fecal bulking), berpotensi mengencerkan toksin dan meningkatkan produksi SCFA. RS juga dapat digunakan sebagai prebiotik untuk untuk menstimulasi pertumbuhan beberapa mikrobia menguntungkan seperti Bifidobacterium karena RS dapat digunakan sebagai substrat untuk organisme probiotik.
Secara analitis RS bersifat sebagai serat tak larut, tetapi mempunyai efek fisiologis seperti serat larut. Selain itu, RS tercerna lambat dan dapat sebagai sarana untuk memperlambat pelepasan glukosa. Serat larut mempunyai dampak menyehatkan kolon dengan meningkatkan kecepatan produksi sel crypt, menurunkan atropi epitelial kolon dibanding makanan yang tidak berserat.
RS dapat digunakan sebagai komponen serat pangan yang dapat mencegah kanker kolon. Pati yang tidak tercerna di dalam usus halus akan difermentasi oleh mikrobiota usus besar. Konsumsi RS menghasilkan jumlah kadar propionat dan butirat yang tinggi dalam digesta. Butirat digunakan sebagai energi oleh colonocyte dan berperan sebagai growth factor bagi sel epithel yang sehat dalam usus besar dan menghambat pembentukan malignant (Bird et al., 2000). Serat pangan seperti oligosakarida dan RS secara signifikan dapat memodulasi flora usus, menghasilkan SCFA terutama propionat dan butirat yang berpotensi untuk menurunkan risiko berkembangnya kanker kolon. Beberapa penelitian menunjukkan adanya korelasi negatif antara konsumsi pati dengan RS dengan timbulnya penyakit kanker kolon (Brouns et al., 2002).
Ternyata tidak hanya jumlah RS yang penting, tetapi terutama komposisi molekuler dan struktur fisik nampaknya yang memberikan efek prebiotik dan sifat butirogenik dari RS. Beberapa penelitian mendukung pendapat bahwa RS yang ter-retrogradasi adalah substrat yang paling berperan dalam produksi butirat. Dewasa ini beberapa publikasi banyak menyorot sifat fisiologis RS terhadap kesehatan saluran pencernaan, efeknya terhadap mikrobiota usus dan produk fermentasinya. Potensi RS pada hewan coba dan manusia adalah sebagai berikut:
Efek pada mikrobia usus dan metabolismenya (Brouns et al., 2002)
  • Terfermentasi sempurna.
  • Tingkat pembentukan gas yang rendah saat terfermentasi.
  • Tingkat pembentukan butirat yang tinggi pada kolon.
  • Menurunkan pH.
  • Secara selektif digunakan oleh lactobacilli dan bifidobacteria.
  • Menstimulasi kolonisasi lactobacilli and bifidobacteria.
  • Menurunkan tingkat bakteri pathogen dalam usus.
  • Menurunkan asam empedu sekunder.
  • Menurunkan toksisitas air fekal.
Efek pada kesehatan dan fungsi fisiologis intestine (Brouns et al., 2002)
  • Menurunkan gejala diare.
  • Meningkatkan berat stool.
  • Efek laksatif ringan dengan asupan yang tinggi.
  • Menurunkan intake energy bila digunakan untuk mengganti pati normal pada makanan.
  • Menurunkan respon insulin bila dibandingkan dengan pati normal.
  • Meningkatkan absorbsi Ca dan Mg.
  • Menstimulasi sistem imun.
  • Menurunkan faktor risiko kanker usus besar.
Efek fisiologis secara umum (Sajilata et al., 2006):
  • RS berperan sebagai komponen serat pangan.
  • Mencegah kanker kolon.
  • Mempunyai efek hipoglikemik.
  • Sebagai prebiotik.
  • Mengurangi pembentukan batu empedu.
  • Mempunyai efek hipokolesterolemik.
  • Menghambat akumulasi lemak.
  • Meningkatkan absorpsi mineral.
Meskipun berbagai keuntungan telah banyak diteliti dan dibuktikan, efek RS yang kurang menguntungkan juga dilaporkan. Studi menunjukkan adanya pembesaran cecal pada tikus, namun pada manusia dikatakan mempunyai relevansi yang kecil karena ukuran dan berat cecum manusia yang kecil.

RS dan aplikasinya dalam industri pangan
Jumlah RS pada kebanyakan produk mentah umumnya sangat rendah, tetapi pengolahan dan penyimpanan dapat meningkatkan jumlahnya seperti data yang dilaporkan oleh Marsono dan Topping (1993). Kandungan RS beras mentah sebesar 0,6%, sedang nasi yang ditanak dengan rice cooker (RC), nasi RC yang disimpan dalam refrigerator 24 jam dan nasi RC yang disimpan dalam freezer 7 hari mengandung pati resisten berturut-turut 2,4%, 5,6% dan 3,9%. Sementara itu, nasi yang ditanak dengan oven microwave (MW) memiliki kandungan pati resisten 2%, sedang nasi MW yang disimpan dalam refrigerator 24 jam dan nasi MW yang disimpan dalam freezer 7 hari kandungan pati resistennya tidak berbeda yaitu 3,8%.
RS dapat ditingkatkan jumlahnya dengan berbagai proses pengolahan bahan pangan melalui proses tertentu seperti pemanggangan, perebusan dengan suhu tinggi, pendinginan dan pemanasan kembali sehingga terjadi proses retrogradasi berulang. Teknik pengolahan berpengaruh pada gelatinisasi dan proses retrogradasi, yang mempengaruhi pembentukan RS. Pemanggangan, proses ekstrusi, proses autoclaving, berpengaruh pada hasil RS dalam makanan. Pemanggangan (baking) meningkatkan kandungan RS. Suhu rendah dan pemanggangan yang lama memberikan kandungan RS yang lebih tinggi daripada kondisi panggang biasa (Sajilata et al., 2006).
RS mempunyai sifat fisiko kimia yang dikehendaki seperti penggelembungan (sweeling), peningkatan viskositas, pembentukan gel, dan kemampuan mengikat air (WHC), sehingga dapat diaplikasikan untuk berbagai macam produk pangan. RS dapat digunakan pada pembuatan roti tawar untuk fortifikasi serat pangan. Fortifikasi dengan RS dapat memperbaiki sifat yang kurang menguntungkan dari roti dengan kandungan serat tinggi seperti warna yang gelap, penurunan tingkat pengembangan, mouthfeel yang kurang enak, RS juga dapat ditambahkan untuk memodifikasi tekstur pada pembuatan cake, muffins atau brownies. Selain itu, RS dapat digunakan untuk meningkatkan kerenyahan (crispness) permukaan produk pangan yang diolah menggunakan suhu tinggi seperti waffles dan toasts. Selain perbaikan tekstur, RS dilaporkan dapat meningkatkan ekspansi produk pangan ekstrusi seperti snack dan sereal (Sajilata et al., 2006).
Bahan yang kaya RS atau RS yang sudah diisolasi dapat dijadikan sebagai ingridien untuk memperbaiki sifat fisikokimia dan meningkatkan nilai gizi produk-produk pangan. Bahan pangan yang kaya akan RS diperlukan untuk memberikan karakter fisik yang baik pada makanan seperti tekstur, kapasitas penyerapan air, dan lain-lain. RS3 mempunyai sifat yang sangat menarik karena RS3 stabil terhadap panas. RS3 juga stabil pada proses pengolahan pangan yang biasa dilakukan sehingga memungkinkan digunakan sebagai bahan (ingridien) pada bermacam makanan konvensional. Karena ketahan cernaannya terhadap enzim pencernaan pati maka bahan pangan yang kaya RS dan RS murni dapat digunakan sebagai bahan prebiotik untuk memperkaya gizi dan sifat fungsional suatu produk pangan maupun minuman.
RS banyak dilirik oleh industri pangan dan konsumen karena mempunyai efek yang menguntungkan secara fisiologis bagi kesehatan maupun secara fungsional pada produk pangan. RS merupakan faktor penting dalam kesehatan saluran cerna terutama melalui interaksinya dengan mikrobiota intestine secara fisik maupun hasil metabolismenya. Penambahan RS dapat memperbaiki kualitas produk pangan seperti pengembangan, kerenyahan, warna, flavor dan mouthfeel dibandingkan dengan serat tak larut konvensional sehingga meningkatkan penerimaan konsumen. Sifat RS sebagai serat pangan serta prebiotik mempunyai manfaat fisiologis yang menguntungkan bagi kesehatan saluran cerna, serta manfaat fisiologis terkait lainnya. Berbagai teknik pengolahan memungkinkan dikembangkan untuk meningkatkan RS pada produk pangan yang dapat diterima oleh konsumen. RS komersial juga telah tersedia yang memungkinkan dikembangkannya pangan fungsional secara lebih luas

6 komentar:

  1. hmm,,sgt brmanfaat mbk tlsannya..
    thanks..

    BalasHapus
  2. thanks post nya bermanfaat bgt, kalo boleh minta literatur nya donk tentang pati resisten, karena penelitian yg akan aq laksanakan tentang PATI rresisten ini,,, jika berkenan untuk memberikan ini ada mail aq { pajri.gamer1@gmail.com } ,, makasih yaaaa,, smoga sukses slalu,, aminnnn

    BalasHapus
  3. Terima kasih, dapat membuat pikiran ruwet ini sedikit lurus. :)

    BalasHapus
  4. Sangat bermanfaat, boleh dicantumkan literaturnya? Terimakasih :)

    BalasHapus
  5. Terimakasih artikelnya sangat membantu

    BalasHapus
  6. Terimakasih artikelnya sangat membantu

    BalasHapus