Pati Resisten
Pati
resistan merupakan istilah yang digunakan
dalam ilmu gizi dan ilmu pangan sebagai jenis pati yang tidak tercerna (resistan) dalam saluran sistem pencernaan manusia.
Pati resistan memiliki sifat fisiologis yang unik sehingga sering
direkomendasikan penggunaannya dibandingkan dengan serat yang lainnya. Pati
resistan dapat digunakan untuk meningkatkan serat pangan dengan sedikit
perubahan dari penampakan dan sifat organoleptik pangan.
Makanan berbasis pati
diklasifikasikan berdasarkan sifatnya ketika diinkubasikan dengan enzim menjadi
pati glisemik dan pati resisten. Pati glisemik adalah pati yang telah
didegradasi menjadi glukosa oleh enzim pencernaan dan selanjutnya dikategorikan
menjadi dua yaitu, rapidly digestible starch (RCS) dan slowly
digestible starch (SDS). Perbedaan keduanya adalah, pada kecepatan
penyerapan rapidly digestible starch (RCS) dicerna dengan cepat pada
usus halus dan berdasarkan uji in vitro, pati jenis ini dihidrolisa menjadi
glukosa dalam waktu 20 menit. Pati yang terserap cepat ini biasanya banyak
terdapat pada pati yag sudah dimasak, dalam hal ini granula pati telah
tergelatinisasi sehingga lebih memudahkan enzim pencernaan untuk
menghidrolisis. Sedangkan slowly digestible starch (SDS) degrasi lebih
lambat, dari uji in vitro membutuhkan waktu antara 20-110 menit untuk mengubah
pati untuk menjadi glukosa. Sedangkan pati resisten adalah pati yang tidak
tercerna dalam usus halus tapi terfermentasi pada usus besar oleh mikroflora
(Bridgewater, 1998).
Pati resisten adalah senyawa yang
unik, karena walaupun termasuk dalam kategori pati, namun dianalisa sebagai
serat pangan. Serat pangan yang selama ini dikenal akan efek fisiologisnya
tidak mampu menarik konsumen untuk menkonsumsinya, hal ini dibuktikan dengan
rendahnya konsumsi serat pangan di Amerika, di mana jumlah yang
direkomendasikan sekitar 20-35 g/hari, nammun jumlah serat pangan yang
dikonsumsi hanya berkisar antara 12-17 g/hari (Alaimo et.al, 1994). Hal
ini disebabkan oleh daya terima konsumen terhadap kualitas organoleptik serat
pangan rendah (teksturnya yang kasar dan dry mouthfeel), walaupun serat
pangan diklaim mempunyai efek yang baik bagi kesehatan dengan menghambat
pertumbuhan sel-sel kanker (Craig et al., 1998).
Pati resisten terdapat dalam
berbagai bentuk dan berbagai tingkatan stabilitas. Pati teretrogradasi adalah
yang paling stabil terhadap panas. Pati teretrogradasi, khususnya amilosa
adalah jenis pati resisten yang paling stabil (Haralampu, 2000). Hal ini
berhubungan denga rantai amilosa yang lurus yang mudah teretrogradasi dan
ketika rantai amilosa bergabung kembali (retrogradasi), akan membentuk sebuah
polimer yag kompak dan sulit untuk dihidrolisis oleh enzim pencernaan (Colonna,
1992).
Klasifikasi Pati Resisten
Pati diklasifikasikan berdasarkan
faktor intrinsik dari jenis pati dan faktor perlakuan menjadi 4 macam, yaitu:
1. Tipe 1 adalah bahan berpati yang
secara fisik sulit dicerna (pati yang terkunci oleh dinding sel, ukuran
partikel yang besar seperti hasil penggilingan yang tidakk sempurna). Pati
resisten tipe 1 mempunyai ikatan molekul yang kuat dan terperangkap dalam
jaringan, yang membuat enzim-enzim pencernaan tidak dapat masuk ke molekul pati
(Haralampu, 2000).
2. Tipe 2, terdapat secara alami pada
pati yang tidak tergelatinisasi karena tidak dimasak, misalnya pati kentang,
pisang dan bahan tinggi amilosa lainnya. Pati resisten tipe 2 mempunyai ujung
glukosa struktur pati. Karena terperangkap kuat, pati tahan terhadap hidrolisis
enzim amylase, namun ketika pemasakan dapat hilang akibat lepasnya barier
seluler dan kerusakan granula pati (Sculz, 1993).
3. Tipe 3, adalah molekul pati yang
terbentuk selama pemanasan lalu pendinginan pati. Terjadinya retrogradasi pati
yang menghasilkan makrokristal yang membuat pati tahan terhadap panas dan
enzim. Struktur pati resisten tipe 3 sangat stabil terhadap panas dan enzim.
Struktur pati resisten tipe 3 sangat stabil terhadap suhu dan hanya bisa
dipecah pada suhu 85-150°. Asp and Bjork (1992) menyatakan makin tinggi kadar
amilosa pati maka makin tinggi pula kadar resistensinya. Granula pati yang kaya
amilosa mempunyai kemampuan mengkristal yang lebih besar, yang disebabkan oleh
lebih intensifnya ikatan hidrogen, akibatnya tidak dapat mengembang atau mengalami
gelatinisasi sempurna pada waktu pemasakan sehingga tercerna lebih lambat. Pati
teretrogradasi adalah pati yang paling resisten terhadap hidrolisis enzim
pencernaan.
4. Tipe 4, merupakan pati hasil
modifikasi secara kimia atau pati hasil repolimerasi seperti halnya
terbentuknya ikatan silang pada rantai polimer (Croghan, 2001).
Tiap jenis pati resisten memberikan
efek fisiologis yang berbeda. Perbedaan efek fisiologis juga ditemukan pada
sumber makanan dari jenis pati resisten, seperti kecepatan daya cerna yang
berbeda dari pati resisten tipe 2 dengan sumber jagung, kacang merah dan
kentang. Tidak ditemukan alasan yang jelas kenapa tiap jenis sumber pati
resisten memiliki perbedaan efek fisiologis (Haralampu, 2000).
Tabel Contoh Klasifikasi Pati
Resisten
Jenis pati resisten
|
Contoh
|
Kemungkinan pencernaan di usus halus
|
RS1: tidak dapat
terlihat secara fisik
|
Biji-bijian yang digiling secara
parsial
|
Resistan
|
RS2: granula resisten
|
Resistan
|
|
RS3: pati
teretrogradasi
|
Resistan
|
|
RS4: pati yang
dimodifikasi secara kimia
|
Pati eter, ester, dan ikatan
silang
|
Resistan
|
Pati resisten dalam bahan makanan
juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1.
Pengaruh
proses pengolahan, dalam hal ini dapat menyebabkan proses gelatinisasi yang
meningkatkan kelarutan dan kecernaan pati sehingga akan dapat menurunkan
kandungan pati resisten dalam bahan tersebut. Pemanasan kembali dan pendingina
akan dapat menyebabkan terbentuknya pati teretrogradasi yang bersifat tidak
larut.
2.
Pengaruh
ukuran partikel, ukuran partikel dari granula pati juga dapat mempengaruhi
keberadaan pati resisten. Semakin kecil ukuran partikel maka semakin besar
rasio luas permukaan dan volume granulanya. Akibatnya, enzim akan mudah
menghidrolisis pati.
3.
Pengaruh
adanya senyawa lain, senyawa lain yang terdapat dalam granula pati dapat mempengaruhi
keberadaan pati dalam bahan pangan. Senyawa tersebut dapat berupa lemak,
protein dan serat pangan. Serat pangan juga dapat mempengaruhi kecernaan pati,
yaitu akan menghambat penetrasi enzim amilase dengan pati.
Tabel Karakterisitik Pati Resisten
Jenis pati resistan
|
Keterangan
|
Kemungkinan pencernaan di usus halus
|
Faktor penurun resistansi
|
Sumber pangan
|
RS1
|
Tidak dapat terakses oleh sistem
pencernaan karena terperangkap pada matrik yang tidak tercerna
|
Lambat dengan derajat sebagian;
Dapat tercerna secara sempurna bila pangan digiling secara sempurna
|
Penggilingan, pengunyahan
|
Biji-bijian yang tergiling secara
sempurna, kacang-kacangan, pasta
|
RS2
|
Granula resistan yang tidak
tergelatinisasi dengan kristalinitas tipe B, terhidrolisis secara lambat oleh
α-amilase
|
Sangat lambat dengan derajat
sedikit; Dapat tercerna sempurna ketika dimasak secara penuh
|
Proses pengolahan dan pemasakan
|
|
RS3
|
Pati teretrogradasi terbentuk
ketika pangan yang mengandung pati dimasak dan kemudian didinginkan
|
Lambat dengan derajat sebagian;
Daya cernanya dapat ditingkatkan dengan pemanasan ulang
|
Kondisi pada saat pemrosesan
|
Kentang yang dimasak kemudia
didinginkan, roti-rotian, corn flakes, produk pangan dengan perlakukan
pemanasan ulang
|
RS4
|
Pati yang secara khusus
termodifikasi secara kimia dan diproses dalam skala industri untuk dijadikan
sebagai komponen ingredien pangan
|
Hasil dari modifikasi secara
kimia, resisten terhadap hidrolisis
|
Sangat sedikit terpengaruh
ketercernaannya
|
Beberapa serat: minuman, pangan
yang menggunakan ingredien pati yang sudah termodifikasi (produk roti-rotian
tertentu)
|
Untuk
dapat mengetahui jumlah pati resisten yang terdapat dalam bahan-bahan pangan
dapat kita lihat pada tabel II.3 di bawah ini.
Tabel
Jumlah Pati Resisten dalam Bahan Pangan
Jenis
pangan
|
Persen
berat kering |
Pati
resistan
(g/100 g) berat kering |
Roti
tawar
|
54,5
|
1
|
Wholemeal
bread
|
52,0
|
1
|
Cornflake
|
95,8
|
3
|
Oats dalam bentuk puree
|
90,7
|
2
|
Kentang
rebus (panas)
|
22,8
|
5
|
Kentang
rebus (dingin)
|
23,8
|
10
|
Spagetti
(panas)
|
28,3
|
5
|
Spagetti
(dingin)
|
34,7
|
4
|
Kacang
polong (dingin, kemudian dipanaskan 5 menit)
|
18,3
|
5
|
Kacang
lentil (dipanaskan 20 menit, kemudian didinginkan)
|
28,3
|
9
|
Kacang
Haricot (dipanaskan selama 40 menit)
|
41,4
|
18
|
II.3
Manfaat Pati Resisten
Pati resisten memiliki karakteristik
yang hampir sama dengan serat pangan, yaitu sifatnya yang tahan terhadap
hidrolisis enzim pencernaan dan tidak dapat tercerna dalam usus halus tapi
terfermentasi dalam kolon membuatanya diklasifikasikan ke dalam serat pangan
(Nugent, 2005). Menurut Baghurst et al.(1996) beberapa penelitian telah
melaporkan bahwa pati resisten menghasilkan asam lemak rantai pendek
seperti asam asetat, asam propionat dan asam butirat yang lebih banyak jika
dibandingkan dengan serat pangan, sehingga efektivitas penghambatan terhadap
poliferase sel kanker lebih tinggi karena menurunkan pH kolon menjadi lebih
rendah. Oleh karena pati resisten tidak dapat dicerna, efek fisiologis lainnya
selain menghasilkan asam lemak rantai pendek, pati resisten juga mampu
menurunkan waktu transit digesta dalam kolon dan meningkatkan massa feces
(Gordon, 1997).
Menurut Brown (1996), sifat pati
resisten yang tidak tercerna dalam usus halus dapat dimanfaatkan sebagai
substrat untuk pertumbuhan probiotik. Mikroorganisme probiotik yang
memanfaatkan pati resisten sebagai substratnya adalah Bifidobacterium.
Selain itu, mengkonsumsi makanan yang mengandung pati resisten dapat mengontrol
kenaikan gula darah akibat pelepasan glukosanya yang lambat sehingga dapat
menurunkan respon insulin tubuh dan menormalkan kembali gula darahnya.
Metabolisme pati resisten
membutuhkan waktu sekitar 5-7 hari, waktu yang lama ini dapat menurunkan respon
insulin sehingga dapat menurunkan kecepatan gula darah yang mengakibatkan
kebutuhan energi turun dan menunda rasa lapar (Raben, 1994).Cassidy et al.
(1994) menyatakan bahwa peningkatan butirat dari pati resisten menandakan
rendahnya kanker kolon. Dari penelitian diperoleh hubungan terbalik antara
kanker kolon denga asupan pati. Sekarang ini, pati resisten diimplikasikan
sebagai prebiotik. Prebiotik sebagai bahan makanan yang tidak dapat tercerna
dan memberi efek menguntungkan dengan mendorong pertumbuhan dan aktivitas dari
satu atau sejumlah koloni bakteri yang dapat meningkatkan kesehatan kolon.
Karena sifatnya yang tahan terhadap
enzim mamalia, RS dapat diklasifikasikan sebagai komponen serat berdasar
definisi serat pangan yang diberikan oleh the American Association of Ceral
Chemists (2000) dan the National Academic of Science (2002). Meskipun bukan
komponen dinding sel tanaman tetapi kandungan gizi yang dimiliki RS mirip
polisakarida bukan pati (non starch polysaccharide) dibandingkan dengan pati
tercerna, sehingga efek fisiologisnya mirip serat.
Seperti halnya serat pangan, RS
dapat meningkatkan status kesehatan GIT (gastrointestinal tract) karena mempunyai
sifat meruah (fecal bulking), berpotensi mengencerkan toksin dan meningkatkan
produksi SCFA. RS juga dapat digunakan sebagai prebiotik untuk untuk
menstimulasi pertumbuhan beberapa mikrobia menguntungkan seperti
Bifidobacterium karena RS dapat digunakan sebagai substrat untuk organisme
probiotik.
Secara analitis RS bersifat sebagai
serat tak larut, tetapi mempunyai efek fisiologis seperti serat larut. Selain
itu, RS tercerna lambat dan dapat sebagai sarana untuk memperlambat pelepasan
glukosa. Serat larut mempunyai dampak menyehatkan kolon dengan meningkatkan
kecepatan produksi sel crypt, menurunkan atropi epitelial kolon dibanding
makanan yang tidak berserat.
RS dapat digunakan sebagai komponen
serat pangan yang dapat mencegah kanker kolon. Pati yang tidak tercerna di
dalam usus halus akan difermentasi oleh mikrobiota usus besar. Konsumsi RS
menghasilkan jumlah kadar propionat dan butirat yang tinggi dalam digesta.
Butirat digunakan sebagai energi oleh colonocyte dan berperan sebagai growth
factor bagi sel epithel yang sehat dalam usus besar dan menghambat pembentukan
malignant (Bird et al., 2000). Serat pangan seperti oligosakarida dan RS secara
signifikan dapat memodulasi flora usus, menghasilkan SCFA terutama propionat
dan butirat yang berpotensi untuk menurunkan risiko berkembangnya kanker kolon.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya korelasi negatif antara konsumsi pati
dengan RS dengan timbulnya penyakit kanker kolon (Brouns et al., 2002).
Ternyata tidak hanya jumlah RS yang
penting, tetapi terutama komposisi molekuler dan struktur fisik nampaknya yang
memberikan efek prebiotik dan sifat butirogenik dari RS. Beberapa penelitian
mendukung pendapat bahwa RS yang ter-retrogradasi adalah substrat yang paling
berperan dalam produksi butirat. Dewasa ini beberapa publikasi banyak menyorot
sifat fisiologis RS terhadap kesehatan saluran pencernaan, efeknya terhadap
mikrobiota usus dan produk fermentasinya. Potensi RS pada hewan coba dan
manusia adalah sebagai berikut:
Efek
pada mikrobia usus dan metabolismenya (Brouns et al., 2002)
- Terfermentasi sempurna.
- Tingkat pembentukan gas yang rendah saat terfermentasi.
- Tingkat pembentukan butirat yang tinggi pada kolon.
- Menurunkan pH.
- Secara selektif digunakan oleh lactobacilli dan bifidobacteria.
- Menstimulasi kolonisasi lactobacilli and bifidobacteria.
- Menurunkan tingkat bakteri pathogen dalam usus.
- Menurunkan asam empedu sekunder.
- Menurunkan toksisitas air fekal.
Efek
pada kesehatan dan fungsi fisiologis intestine (Brouns et al., 2002)
- Menurunkan gejala diare.
- Meningkatkan berat stool.
- Efek laksatif ringan dengan asupan yang tinggi.
- Menurunkan intake energy bila digunakan untuk mengganti pati normal pada makanan.
- Menurunkan respon insulin bila dibandingkan dengan pati normal.
- Meningkatkan absorbsi Ca dan Mg.
- Menstimulasi sistem imun.
- Menurunkan faktor risiko kanker usus besar.
Efek
fisiologis secara umum (Sajilata et al., 2006):
- RS berperan sebagai komponen serat pangan.
- Mencegah kanker kolon.
- Mempunyai efek hipoglikemik.
- Sebagai prebiotik.
- Mengurangi pembentukan batu empedu.
- Mempunyai efek hipokolesterolemik.
- Menghambat akumulasi lemak.
- Meningkatkan absorpsi mineral.
Meskipun
berbagai keuntungan telah banyak diteliti dan dibuktikan, efek RS yang kurang
menguntungkan juga dilaporkan. Studi menunjukkan adanya pembesaran cecal pada
tikus, namun pada manusia dikatakan mempunyai relevansi yang kecil karena
ukuran dan berat cecum manusia yang kecil.
RS dan aplikasinya dalam industri
pangan
Jumlah
RS pada kebanyakan produk mentah umumnya sangat rendah, tetapi pengolahan dan
penyimpanan dapat meningkatkan jumlahnya seperti data yang dilaporkan oleh
Marsono dan Topping (1993). Kandungan RS beras mentah sebesar 0,6%, sedang nasi
yang ditanak dengan rice cooker (RC), nasi RC yang disimpan dalam refrigerator
24 jam dan nasi RC yang disimpan dalam freezer 7 hari mengandung pati resisten
berturut-turut 2,4%, 5,6% dan 3,9%. Sementara itu, nasi yang ditanak dengan
oven microwave (MW) memiliki kandungan pati resisten 2%, sedang nasi MW yang
disimpan dalam refrigerator 24 jam dan nasi MW yang disimpan dalam freezer 7
hari kandungan pati resistennya tidak berbeda yaitu 3,8%.
RS
dapat ditingkatkan jumlahnya dengan berbagai proses pengolahan bahan pangan
melalui proses tertentu seperti pemanggangan, perebusan dengan suhu tinggi,
pendinginan dan pemanasan kembali sehingga terjadi proses retrogradasi
berulang. Teknik pengolahan berpengaruh pada gelatinisasi dan proses
retrogradasi, yang mempengaruhi pembentukan RS. Pemanggangan, proses ekstrusi,
proses autoclaving, berpengaruh pada hasil RS dalam makanan. Pemanggangan
(baking) meningkatkan kandungan RS. Suhu rendah dan pemanggangan yang lama
memberikan kandungan RS yang lebih tinggi daripada kondisi panggang biasa
(Sajilata et al., 2006).
RS
mempunyai sifat fisiko kimia yang dikehendaki seperti penggelembungan
(sweeling), peningkatan viskositas, pembentukan gel, dan kemampuan mengikat air
(WHC), sehingga dapat diaplikasikan untuk berbagai macam produk pangan. RS
dapat digunakan pada pembuatan roti tawar untuk fortifikasi serat pangan.
Fortifikasi dengan RS dapat memperbaiki sifat yang kurang menguntungkan dari
roti dengan kandungan serat tinggi seperti warna yang gelap, penurunan tingkat
pengembangan, mouthfeel yang kurang enak, RS juga dapat ditambahkan untuk
memodifikasi tekstur pada pembuatan cake, muffins atau brownies. Selain itu, RS
dapat digunakan untuk meningkatkan kerenyahan (crispness) permukaan produk
pangan yang diolah menggunakan suhu tinggi seperti waffles dan toasts. Selain
perbaikan tekstur, RS dilaporkan dapat meningkatkan ekspansi produk pangan
ekstrusi seperti snack dan sereal (Sajilata et al., 2006).
Bahan
yang kaya RS atau RS yang sudah diisolasi dapat dijadikan sebagai ingridien
untuk memperbaiki sifat fisikokimia dan meningkatkan nilai gizi produk-produk
pangan. Bahan pangan yang kaya akan RS diperlukan untuk memberikan karakter
fisik yang baik pada makanan seperti tekstur, kapasitas penyerapan air, dan
lain-lain. RS3 mempunyai sifat yang sangat menarik karena RS3 stabil terhadap
panas. RS3 juga stabil pada proses pengolahan pangan yang biasa dilakukan
sehingga memungkinkan digunakan sebagai bahan (ingridien) pada bermacam makanan
konvensional. Karena ketahan cernaannya terhadap enzim pencernaan pati maka
bahan pangan yang kaya RS dan RS murni dapat digunakan sebagai bahan prebiotik
untuk memperkaya gizi dan sifat fungsional suatu produk pangan maupun minuman.
RS
banyak dilirik oleh industri pangan dan konsumen karena mempunyai efek yang
menguntungkan secara fisiologis bagi kesehatan maupun secara fungsional pada produk
pangan. RS merupakan faktor penting dalam kesehatan saluran cerna terutama
melalui interaksinya dengan mikrobiota intestine secara fisik maupun hasil
metabolismenya. Penambahan RS dapat memperbaiki kualitas produk pangan seperti
pengembangan, kerenyahan, warna, flavor dan mouthfeel dibandingkan dengan serat
tak larut konvensional sehingga meningkatkan penerimaan konsumen. Sifat RS
sebagai serat pangan serta prebiotik mempunyai manfaat fisiologis yang
menguntungkan bagi kesehatan saluran cerna, serta manfaat fisiologis terkait
lainnya. Berbagai teknik pengolahan memungkinkan dikembangkan untuk
meningkatkan RS pada produk pangan yang dapat diterima oleh konsumen. RS
komersial juga telah tersedia yang memungkinkan dikembangkannya pangan
fungsional secara lebih luas
hmm,,sgt brmanfaat mbk tlsannya..
BalasHapusthanks..
thanks post nya bermanfaat bgt, kalo boleh minta literatur nya donk tentang pati resisten, karena penelitian yg akan aq laksanakan tentang PATI rresisten ini,,, jika berkenan untuk memberikan ini ada mail aq { pajri.gamer1@gmail.com } ,, makasih yaaaa,, smoga sukses slalu,, aminnnn
BalasHapusTerima kasih, dapat membuat pikiran ruwet ini sedikit lurus. :)
BalasHapusSangat bermanfaat, boleh dicantumkan literaturnya? Terimakasih :)
BalasHapusTerimakasih artikelnya sangat membantu
BalasHapusTerimakasih artikelnya sangat membantu
BalasHapus